Hujan itu mestinya suatu berkah, bukan musibah.....

     Bulan Januari ini adalah puncaknya musim hujan di Indonesia. Dimana mana hujan, badai, banjir, tanah longsor dan segala akibatnya mewarnai berita di tv, koran dan mas media lainnya. Jakarta sebagai ibukota negara, etalasenya Indonesia dan selalu menjadi sorotan segala pemberitaan, paling parah menderita akibat musim hujan ini. Banjir yang menggenangi banyak kawasan, macet, pengungsi dsb, menjadi berita hangat setiap hari.
     Namun beberapa bulan yang akan datang, sesudah musim hujan berlalu dan berganti dengan musim kemarau, baru beberapa hari tidak hujan saja sudah terjadi kekeringan disejumlah wilayah. Jadilah negara Indeonesia kita ini, negara yang digambarkan sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja baldatun toyyibatun wa robbun ghofur, kalau hujan kebanjiran, kalau kemarau kekeringan. Orang jawa menggambarkan, kalau hujan tidak bisa jongkok, kalau kemarau tidak bisa cebok.
     Air hujan mestinya adalah karunia Allah yang diturunkan kepada manusia untuk bisa menghidupkan bumi, mengolah bumi dan dipergunakan sebesar besar untuk memakmurkan manusia. Digambarkan dalam Al Qur'an, Allah menghalau awan yang mengandung hujan ketempat tempat yang tandus, lalu menurunkan hujan, dan dengan hujan itu Allah menghidupkan bumi yan g kering dan tandus,. menghidupkan aneka tanaman supaya dapat dinikmati oleh manusia. Dengan demikian manusia akan bersyukur atas limpahan rahmat dan karuniaNya.
     Itu kalau manusia mau berusaha, menjaga bumi, tidak merusak alam dan mau memanage air hujan itu sehingga bermanfaat. Kalau tidak, maka berkah itu bisa bisa berubah menjadi bencana.
     Keberadaan air tawar dibumi ini hanya beberapa persen saja, yakni berupa air tanah, air hujan dan salju. Sisanya berupa air laut yang asin yang tidak bisa diminum oleh manusia. Air tawarpun kalau tidak dimanage dengan baik, hanya akan menjadi air limpasan/ air permukaan yang akan lari kelaut tanpa dapat dimanfaatkan oleh manusia. Maka jadilah ...kalau hujan kebanjiran dan kalau kemarau kekeringan.

Tidak menanam kok memanen
     Manusia itu hampir tidak pernah menanam air, tapi selalu ingin memanen air. Air yang ada didalam tanah itu mestinya ditanam, dengan jalan : Beri kesempatan sebesar besarnya kepada air hujan untuk meresap kedalam tanah, agar air hujan itu berubah menjadi air tanah dan tidak menjadi air limpasan yang langsung menuju kelaut. Tapi ini tidak dilakukan oleh manusia, sehingga dari tahun ketahun, prosentase air limpasan semakin besar. Saat ini menurut para ahli, 72 % air hujan berupa air limpasan yang akan langsung / tidak langsung menuju laut tanpa dapat dimanfaat oleh manusia. Padahal satu dekade yang lalu, air limpasan ini baru sekitar 60% saja. Ini mungkin yang kita rasakan bahwa air sumur kita semakin dalam, mata air semakin susut dan mencari sumber air dimusim kemarau semakin sulit.

Desa yang berubah menjadi kota
     Di pulau Jawa, banyak desa yang berubah menjadi kota. Tutupan vegetasi yang berfungsi menahan air hujan telah banyak yang hilang dan berubah menjadi tutupan beton, aspal dan bangunan lainnya, sehingga air hujan tidak bisa meresap ketanah, berubah menjadi air limpasan yang menjadikan banjir, genangan dsb.
     Tatakota dan tata wilayah dipulau Jawa mestinya diatur ulang, jika desa desa berubah menjadi kota, atau setidaknya bergaya menjadi kota, dengan jalan beraspal, halaman dengan lantai semen, pagar tembok dsb, maka dapat dibayangkan air tanah akan semakin berkurang dan air limpasan akan membesar.

Kota yang mengabaikan Ruang terbuka hijau
    Undang undang menamanatkan bahwa suatu kota harus memiliki sekurang kurangnya 30% dari luas wilayahnya adalah ruang terbuka hijau, atau kawasan yang tidak terbangun. Ruang terbuka hijau/RTH itu bisa berupa taman, hutan kota, jalur hijau dsb yang memungkinkan air hujan dapat meresap, sebagai paru paru kota dan banyak fungsi lingkungan lainnya.
     Namun banyak kota yang mengabaikan ini. Ada kota yang hanya memiliki RTH kurang dari 6 % saja. Kalah sama pengembang yang begitu agresif. Kota yang dulunya ijo royo royo berubah menjadi ijo ruko ruko. Saat ini barangkali tidak ada kota yang tidak mengalami banjir.

Mari kita mulai menanam air
     Slogan tidak menanam kok memanen, hendak kita camkan dalam hati kita. Kita harus punya niatan untuk setidaknya punya andil untuk menanam air, wong kita setiap hari meminum air. Juga slogan beri kesempatan air hujan untuk sebanyak banyaknya meresap kedalam tanah, harus kita realisasikan.
  1. Desa itu yang desa, dengan alam dan kultur yang berbeda dengan kota. Jangan ikut ikutan menjadikan desa seperti kota. Jalan beraspal, halaman disemen, pagar tembok dsb. Ini akan menyebabkan permukaan tanah tertutup dan air hujan hanya akan menjadi air limpasan yang tidak dapat meresap kedalam tanah. Saya masih melihat satu desa yang asri, jalan terbuat dari terasahan batu yang diatur rapi, pagar hidup yang rindang, halaman rumput dan dinaungi pepohonan. Itu kan ciri suatu pedesaan.
  2. Kota ya harus melaksanakan amanat undang undang dengan menjadikan 30% luas wilayahnya sebagai RTH. Banyak situ, rawa yang diurug dan berubah menjadi pemukiman. Maka ya jangan menangis kalau real estate, perumnas atau perumahan lainnya yang berdiri dibekas situ kebanjiran, wong dulunya memang tempatnya air.
  3. Hindari alih fungsi lahan. Ini mungkin yang tidak bisa. Bagaimanapun juga alih fungsi lahan akan terjadi. Tapi ya mestinya itung itung, jangan ngawur saja. Kita masih butuh hutan, masih butuh sawah, masih butuh rawa, danau ran ruang lainnya yang merupakan bagian dari ekosistim secara keseluruhan.
  4. Ayo menanam. Kalau dulu ada gerakan menanam sejuta pohon, sekarang gak tanggung tanggung, semilyar pohon. Tapi berapa yang tumbuh, berapa yang sampai besar dan berfungsi mengatur iklim mikro? Berfungsi mengatur tataguna air. Jangan sampai slogan semilyar pohon hanya slogan.
Perubahan iklim, apa boleh buat
     Cuaca yang ekstrim, curah hujan yang tinggi, ini akan membuat prosentase air hujan yang menjadi air limpasan meningkat. Kemampuan tanah untuk menyerap air yang datang membeludak juga tidak meningkat. Maka jadilah banjir dimana mana. Ya, kalau cuaca yang ekstrim mungkin fenomena alam yang diluar kemampuan manusia. Tapi setidaknya manusia harus punya upaya untuk menangkalnya. Bagaimanapun juga, Allah tidak akan menganiaya hambaNya. Allah tidak akan membebani manusia diluar kemampuannya. Percayalah, kalau ada upaya, maka dampak dari cuaca yang ekstrim dapat dimimalisir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar