image belongs to www.chogwang.com |
Hampir disetiap
waktu, kita disuguhi oleh berita berita tentang para eksekutip maupun
legislatip yang mengadakan studi banding. Baik keluar negeri maupun didalem
negri aja. Mereka yang pro mestinya akan membela, bahwa studi banding itu
perlu, untuk melihat daerah lain atau negara lain menerapkan suatu peraturan
perundangan atau suatu masalah dalam pengelolaan pemerintahan, dan sebagainya.
Mereka yang kontra akan mengkritik, bahwa studi banding itu buang buang uang
percuma. Studi banding itu adalah piknik para pejabat yang disamarkan. Berapa
duit negara yang dihabiskan oleh para pejabat legislatip maupun eksekutip untuk
studi banding tersebut?.
Tapi memang udah
menjadi protap( sekalipun protap itu ya buatan manusia yang bisa diubah), bahwa
setiap kali membuat Undang Undang/UU, maka anggota yang terhormat harus
mengadakan studi banding kemanca negara, untuk membandingkan UU yang sama
dinegara ybs, bagaimana penerapannya. Misalnya negara kita abis membahas UU
tentang kemiskinan, maka setelah selesai membahas, eksekutip didampingi
legislatip akan studi banding kenegara yang juga mempunyai UU tentang
kemiskinan, misalnya negara afrika, amerika latin dan sebagainya. Perkara
kemudian mampir ke eropah atau amerika itu urusan lain. Ini juga berlaku untuk
daerah daerah. Sehabis membahas perda tentang Ketahanan Pangan, misalnya, maka
dewan didampingi eksekutip akan studi banding ke daerah lain yang punya perda
tentang ketahanan pangan. Lho, kok studi bandingnya ke Bali? Ke Raja
Ampat?......ssstt, diemm! Dilarang protes.
Padahal kalau
studi banding itu pesertanya buuanyak sekalee. Dewan ya minimal satu komisi,
lalu didampingi oleh eksekutip yakni dinas terkait, pejabat pemda bahkan kadang
yang tidak berkompetenpun ikut serta. Kalau pusat ya berapa puluh orang gitu,
bahkan kadang tanpa malu membawa serta anak istri atau gacoannya. Maka ya
jangan herman kalau dana negara yang dikeluarkan untuk membiayai studi banding
itu besar sekali. Hasilnya?....ya sekedar perbandingan bagaimana peraturan
perundangan itu diterapkan disuatu negara, bagaimana perda disuatu daerah
dibandingkan dengan perda didaerah sendiri, bagaimana penerapannya, dan
sebagainya. Kadang studi bandingnya beberapa jam, pikniknya beberapa hari
hehehe........secara lahiriyah, hasil
studi banding itu berupa kuestioner, potokopi perda dan turunannya.....dilarang
protes!!
Saat ini banyak
sekali buku tentang perjalanan backpacker. Silahkan dibaca, nanti kita akan
tahu berapa bajeting mereka untuk mengadakan perjalanan ala backpacker itu.
Jauh jauh sudah cari info tentang tiket murah, hotel murah, rute yang paling
dekat, tarip angkot dan sebagainya.
Seorang Traveller yang pergi kesuatu negara, lalu mengunjungi
obyek wisata dinegara tersebut, lalu melihat cara pengelolaannya, lalu melihat
sarana pendukungnya, transportasinya, kulinernya, hotelnya dan
sebagainya.......lalu ditugasi membuat laporan, lalu ditugasi mampir ke
kementrian terkait. Kalau dalam negeri ya mampir ke Pemda/ Dinas terkait,
disitu lalu mempotokopi UU, peraturan perundangan yang memdukung, atau perda
bagi daerah........hasilnya mungkin jauh lebih bermanfaat, lebih mendalam dan
lebih komplit dayifada studi banding......dan temptu aja lebih murah dibanding
studi banding para pejabat.
Lalu bagaimana kalau backpacker/traveller dibiayai pakai uang
negara, suruh pergi kenegara tertentu, lalu harus mempelajari masalah tertentu,
misalnya transportasi, kemiskinan, pariwisata??......enak aja!!. Yang kumangsud
mestinya para peserta studi banding itu mbok ya malu kalau udah menghabiskan
duit begitcu banyak hasilnya cuma potokopi perda ama kuestioner......bandingkan
dengan backpacker/traveller yang reportasenya lebih mendalam, dari penerapan
tingkat terbawah sampai kelembagaan yang tertinggi, dengan biaya yang ecek
ecek...........So, just only a paper
0 komentar:
Posting Komentar