Ngapusi...itukah karakter birokrat kita?.......

     Ngapusi, menipu, merekayasa, ndobos, rasanya sudah menjadi keseharian birokrat kita. Lebih lebih bila sudah ngurusi masalah lomba, penghargaan dan hal hal yang akan mendatangkan penghargaan bagi daerahnya. Entah itu piala Adipura, Parahita, Wahana Tatanugraha dsb. Satu lagi, birokrat itu pinter sekali menjawab kritikan apapun yang ditujukan kepadanya. Dulu waktu reformasi pertama kali digulirkan, waktu santer santernya kata reformasi, maka rezim orba dengan santainya menjawab bahwa reformasi telah dilaksanakan, bahkan sejak tahun limapuluhan telah melaksanakan reformasi. Wah, yang dengarpun hanya senyam senyum mendengar jawaban ini.
     Kebiasaan ngapusi, rekayasa atau selalu menjawab semua kritikan, akan mengakibatkan seperti yang kita lihat selama ini. Satu kabupaten yang mendapat penghargaan mampu meningkatkan produksi padi, namun pada ketika lain minta bantuan karena banyak sawah puso. Daerah pemenang Adipura, namun pasarnya kumuh. Daerah pemenang KB, namun pertumbuhan penduduknya dua digit. Atau pemenang Parahita ternyata kasus KDRT, poligami, nikah siri masih banyak.
     Nah, kebiasaan ngapusi ini mestinya yang harus segera diakhiri. Ngapusi ini yang paling banyak ialah dalam rangka mendapatkan penghargaan bagi daerahnya. Daerah yang paling banyak menerima penghargaan, dianggap paling maju, bupati/ walikotanya nanti bisa nyalon kedua kalinya. Yang kedua ialah dalam rangka mendapatkan anggaran dari pemerintah pusat atau lembaga yang lebih tinggi.

Lomba, ini biangnya
     Ada sebuah kelompok tani ternak yang akan dinilai untuk lomba tingkat nasional. Setelah dihitung hitung, populasi ternak di kelompok tsb sangat kecil, katakanlah untuk lomba kelompok peternak ayam buras/ kampung. Kira kira tiga hari sebelum tanggal penilaian, ada operasi besar besaran untuk menambah populasi ternaknya. Pemerintah daerah mengedrop ayam buras secara besar besaran ke kandang kandang, agar populasi ternak kelihatan besar. Kandangpun direkayasa agar kelihatan bersih. Pemerintah juga mengedrop uang agar kas kelompok kelihatan besar. Arus keluar masuk uang direkayasa, termasuk arus penjualan telur dan ayam dibuat besar agar nanti mendapat nilai tinggi.
     Pada penilaian Adipura ya sama saja. Masing masing daerah pada calling callingan, tim penilai sudah sampai mana. Lalu pada hari dimana daerah akan dinilai, tim penilai dijemput, diinapkan dihotel bintang, segala keperluannya dipenuhi, nanti pulang dibawakan oleh oleh. Lapanganpun sudah disiapkan sebaik mungkin. Pedagang kaki lima diperintah untuk libur dulu agar kota kelihatan bersih. Sampat diangkut sehari tiga kali (padahal biasanya tiga hari sekali). Kota menjadi bersih dan ijo royo royo. Selesai penilaian keasdaan kota kembali seperti semula.
     Demikian pula lomba yang lainnya, selalu ada rekayasa dilapangan maupun data pendukung agar mendapat nilai yang tinggi sehingga nanti bisa meraih penghargaan. Kabupaten/ kota yang paling banyak menerima penghargaan, itulah yang dianggap daerah yang paling maju.

Upaya mendapatkan anggaran
     Upaya untuk mendapat anggaran dari atasan, pusat atau propinsi, diluar DAU ataupun DAK, sering harus disertai proposal dengan latar belakang/ data pendukung. Ini yang sering direkayasa. Satu kegiatan yang sebenarnya tidak layak, namun  dengan rekayasa data pendukung seolah kegiatan itu layak. Akibatnya kegiatan itu akan menjadi barang yang mangkrak.
    Ada satu daerah yang akan mengajukan anggaran untuk membangun pasar hortikultura dan hasil pertanian lainnya. Dibuatlah proposal yang sangat meyakinkan dengan dukungan data produksi sayuran, buah buahan, bunga dan produk pertanian lainnya. Data yang disajikan direkayasa sangat tinggi. Akhirnya anggaran bisa keluar dan pasar hortikultura dapat dibangun serta menjadi kebanggaan daerah. Namun karena data yang rekayasa, petani yang menjual hasil pertaniannya kepasar tsb sangat sedikit, dan beberapa tahun kemudian menjadi pasar yang mangkrak.
    Ini hanya contoh kecil bagaimana bila semua serba rekayasa, ngapusi. Anggaran negara akhirnya hanya untuk hal hal yang akhirnya mubadzir.

Harus ada perubahan mainset
     Harus ada perubahan pola pikir dikalangan birokrat! Yang ngapusi, yang suka merekayasa data, yang asal njawab, mari kita sudahi. Itu semua akhirnya hanya akan merugikan masyarakat sendiri. Penghargaan yang kita terima, sebenarnya hanya instan saja. 
    Apa artnya menerima Adipura, namun ternyata pola hidup masyarakatnya masih jauh dari kebiasaan hidup bersih. Membuang sampah juga mnasih seenaknya. Pedagang kakilima masih menjadi beban, bukan potensi, yang selalu menimbulkan masalah bagi petugas kebersihan, tramtib dsb. 
     Apa artinya menrima Wahana Tata Nugraha, penghargaan tertinggi dalam tertib lalu lintas, kalu ternyata yang ditekankan hanya mengecat marka jalan, menambah lampu apill, sementara perilaku pengguna jalan masih jauh dari tertib.
     Apa artinya menerima Parahita, kalau ternyata yang dipentingkan hanya menambah jumlah kader posyandu, atau data pendukung yang selalu "wah", sementara masih banyak balita yang kurang gizi, yang tidak pernah cukup menerima asi eksklusif, yang para istri masih banyak yang diperkuda suami, atau para istri yang hanya nganggur dirumah menunggu jatah dari suami.
      Saya jadi ingat sama pak Jokowi, walikota Solo yang tidak pernah menerima penghargaan Adipura, Parahita dsb, namun penghargaan non formal sangat banyak diterima. Beliau memang tidak terlalu mementingkan penghargaan, yang penting kerya nyata yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat.

Jadikan parameter dalam lomba, untuk membangun
     Jangan mengharap Adipura, tapi parameter, kriteria dalam penilaian adipura, gunakan untuk membangun lingkungan hidup didaerahmu. Dalam parameter Adipura disebutkan, sungai yang bersih itu yang bagaimana, sudah ada kriterianya, ada tolok ukurnya, ada skornya. Ya, itu aja yang diterapkan dalam menata sungai yang melintas diperkotaan. Nantinya akan diperoleh kali yang bersih yang akan dapat dinikmati oleh warga kota untuk santai, dengan taman ditepinya, dsb. Nantinya tidak ada warga kota yang membuang sampat di kali karena ada kesadaran.
    Dalam parameter adipura disebutkan bagaimana mengelola sampah. Apa yang harus dilakukan oleh rumah tangga, apa yang dilakukan oleh petugas di TPA, di TPS  sampai nanti di TPA bagaimana pengelolaannya, ya itu saja yang dikerjakan.
      Kalau parameter, kriteria yang ada dalam penilaian lomba lomba itu kita tertapkan dalam pembangunan, tanpa harus memikirkan lomba, nanti akan dapat piala, nanti akan dapat penghargaan, maka sebenarnya itulah yang akan menyentuh rakyat banyak.
    Lomba bukan tujuan, tapi hanya sekedar sarana uyang disediakan oleh pemerintah pusat agar daerah mampu menerapkan prinsip prinsip kerja yang baik, dengan parameter dan kriteria tertentu sehingga dapat dinikmati oleh masyarakatnya. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar