jelang Ramadhan: 80% konsumen petasan adalah orang miskin!!..

     Bulan Sya'ban ini mestinya digunakan oleh umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut  bulan Ramadhan. Banyak tuntunan dari Rasulullah SAW bagaimana mengisi ibadah di bulan Sya'ban ini. Berpuasa pada awal dan pertengahannya, tadarus, bersedekah dan saling bermaaf maafan nanti menjelang masuk bulan Ramadhan, semua itu adalah amalan yang lebih baik dikerjakan daripada hal hal yang tidak berguna.
     Jika toh ada tradisi dan adat istiadat, terutama di jawa, itu semua sebenarnya hanyalah suatu perlambang yang ada artinya. Misalnya dibulan Sya'ban banyak dilaksanakan sadranan. Sadranan dari kata arab "sodrun", yang artinya membuka dada, yakn i membuka dada untuk bisa menerima kehadiran bulan Ramadhan nanti. Apem, dari kata "afuwwun" yang artinya ampunan/ maaf. Jadi dibulan ini mestinya kita banyak mohon ampun dan dan saling memaafkan, sehingga masuk bulan Romadhon setidaknya kita sudah bersih. Demikian juga tradisi padusan, maksudnya untuk membersihkan diri.
     Namun kenyataannya, bulan Sya'ban ini bvanyak digunakan untuk menyiapkan hal hal yang tidak ada kaitannya dengan ibadah, bahkan sesuatu yang mubadzir....yakni membuat dan menyulut petasan atau mercon. Aapakah bulan Ramadhan dan lebaran identik dengan membunyikan mercon? Ini merupakan tradisi yang patut dicari akarnya kenapa dulu itu terjadi. Kenyataannya tradisi ini tidak semakin hilang, namun tetap eksis bahkan semakin berkembang. Tidak hanya petasan buatan rumahan, namun petasan buatan pabrik, petasan impor, kembang api dan sejenisnya semakin banyak dijumpai. Mulai dari kaki lima ditrotoar, diwarung warung kecil sampai ada toko khusus menjual kembang api.
     Satu hal yang menjadi keprihatinan, ternyata suara dar der dor petasan ini kebanyakan justru berasal dari perkampungan kumuh, perkampungan padat yang nota bene banyak dihuni oleh kaum menengah kebawah. Mengapa mereka memilih membelanjakan uangnya untuk membeli petasan, bukan untuk pendidikan anaknya, kesehatan atau setidaknya untuk meningkatkan gizi keluarga. Uang yang mereka cari dengan susah payah, akhirnya hanya dibakar sesaat, untuk suatu kesenangan semu yang tiada gunanya. Boleh dikata bahwa 80% yang membunyikan petasan adalah kaum miskin kaum marjinal dipemukiman kumuh, pemukiman padat dan pemukiman pinggiran.
     Perkampungan kumuh jelang Ramadhan memang ramai sekali dengan suara petasan. anak anak kecil bergerombol sambil menenteng petasan, dengan gembira menyulutnya untuk suatu suara yang cuma sesaat. Saling bersaing besar dan banyaknya petasan yang dapat mereka sulut, yang tak jarang pada waktu menyulut membahayakan orang lain, setidaknya mengganggu.
     Anak anak ini kalau diperingatkan malah marah, mengejek dan tak jarang terjadi pertengkaran akibat diperingatkan. Pengumuman oleh pak RT, pak RW bahkan sampai tingkat Kelurahanpun tidak mempan.  
     Ini mestinya menjadi PR bagi kita semua, terutama orang tua. Jangan mengijinkan anak anak untuk membeli petasan (gimana mau melarang, lha wong orang tua sendiri sering ikutan main petasan). Mari kita beri pengertian anak anak kita bahwa menyulut petasan adalah sesuatu yang sia sia. Uang yang kita cari dengan susah payah, lebih baik kita gunakan untuk sesuatu yang lebih berguna. Untuk membeli alat sekolah, atau ditabung untuk masa depan.
     Lebih penting lagi, mari kita isi anak anak dengan kegiatan agama, menyhiapkan diri mereka untuk memasuki bulan romadhon dengan hati yang bersih dan amal ibadah yang lebih bermanfaat. Beri pengertian kepada anak anak bahwa sesuatu yang mubadzir itu sangat dibenci Allah. Lebih lebih kalau dalam menyulut petasan mencelakai orang lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar